budi pekerti wonten ing basa Jawi

Bahasa Jawa, Kenapa Tidak?


Bahasa ngoko dan krama dalam bahasa Jawa sejatinya tidak membedakan kasta atau membuat sekat antara miskin kaya, tua muda, atau majikan pelayan. Penekanannya lebih pada aspek moral (tata krama). Yang muda menghormati yang tua atau orang yang lebih tua menghormati yang lebih muda dalam pengertian kompleks.

Sasaran sebenarnya cenderung ke norma adat yang bermuara ke budaya Jawa. Kata jawa (baca njawa) bisa bermakna arif bijaksana, halus, mbeneh, loma, pangerten, dan tanggap situasi sekitar. Makna itu menunjukkan kata sifat yang mengarah ke figur seseorang, karakter, sikap, dan kepribadiannya. Yakni, wong Jawa, baik sebagai individu maupun keberadaannya dalam kelompok.

Bahasa Jawa yang santun sebagai alat komunikasi orang Jawa membentuk karakter orang Jawa sebagai pribadi yang halus budi pekerti, andhap asor, sareh, dan nriman. Andaikan seseorang bertengkar dengan menggunakan bahasa Jawa sesuai kaidah, dalam arti menerapkan ngoko dan krama, bisa dipastikan pertengkaran itu tidak akan terjadi, paling tidak bisa diminimalisasi.

Tidak ada keharusan atau sanksi hukum ketika seseorang tidak bisa atau tidak menggunakan bahasa Jawa. Itu hanya tanggung jawab moral bagi seseorang yang lahir dari orang tua beridentitas Jawa. Bahasa Jawa bisa terkikis. Tapi, identitas wong Jawa dan budayanya akan melekat sepanjang hayat.

Penerapan bahasa Jawa di lingkungan pendidikan Surabaya, yang dicanangkan beberapa bulan lalu, sudah tidak ada gaungnya. Program yang mewajibkan sekolah menggunakan bahasa Jawa tiap Senin hanya berjalan beberapa bulan.

Di SD dan SLTP, bahasa Jawa hanya berjalan pada pembelajaran bahasa daerah (bahasa Jawa), yang volume pertemuannya hanya dua jam dalam seminggu. Itu pun bahasa pengantar yang dipakai guru bahasa Jawa belum tentu bahasa Jawa.

Intensitas komunikasi berbahasa Jawa yang rendah, baik di sekolah maupun di rumah, menjadikan anak didik merasa asing dan aneh dengan kosa kata bahasa Jawa. Di Surabaya, masih banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari, terutama di perkampungan. Ironisnya, sebagian anak usia sekolah berbicara ngoko kepada orang tua sehingga terkesan tidak sopan.

Yang juga patut kita perhatikan, banyak anak didik yang tidak bisa berhitung Jawa. Misalnya, anak sekarang banyak yang tidak tahu berapa itu gangsalwelas, selangkung, sangalikur, suwidaktelu. Berarti, orang Jawa kian banyak yang tidak bisa basa Jawa dan itung Jawa.

Fenomena lain bisa kita amati dari perekrutan CPNS lalu. Jurusan itu sangat dibutuhkan tidak hanya di Surabaya. Daerah lain yang mengajarkan mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa juga kekurangan guru pengajar. Jangan-jangan, Jawa Tengah yang merupakan pusat pijakan bahasa Jawa juga kekurangan stok guru bahasa Jawa.

Bisa jadi, semua berawal dari persepsi keliru bahwa Jawa (sastra Jawa) identik dengan segala yang berbau tua, kuno, atau mistis. Sehingga, masyarakat, katakanlah calon mahasiswa, lebih memilih jurusan bahasa Inggris, fisika, atau matematika yang dirasa lebih menjanjikan masa depan.

Sesuai Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000, pimpinan daerah berwenang mengatur bahasa di daerahnya. Tidak ada kata terlambat untuk mulai berbenah menjadikan bahasa Jawa sebagai acuan budaya Jawa, khususnya di Surabaya dan sekitarnya.

Menggeluti bahasa Jawa juga tidak mustahil untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. Pembawa acara berbahasa Jawa, misalnya. Bahkan, banyak pengarang kita yang menyelipkan bahasa Jawa (selain bahasa Inggris) dalam karyanya. Sebab, ungkapan dalam bahasa Jawa dianggap lebih mengena dan menyentuh perasaan.

Januari lalu, sarasehan bahasa Jawa digelar Pemkot dan Dispendik Surabaya. Tema yang diangkat Upaya Menumbuhkan Budaya Berbahasa Jawa di Lingkungan Sekolah dalam rangka Melestarikan Budaya Bangsa. Tanpa bermaksud mengunggulkan kesukuan, tema di atas perlu dihidupkan. Jangan sampai bahasa Jawa dicatat UNESCO sebagai bahasa yang sudah punah. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, 24 Januari 2009

No comments: